Friday, May 26, 2006

Fine for me

Sebut saja namanya Mr. x. Dia masih terhitung saudara jauh. Dia seorang duda dengan tiga orang anak. Usia anaknya yang pertama hanya beda 3 tahun di atasku. Seingatku waktu aku kecil, kami sekeluarga pernah beberapa kali silaturahim ke rumahnya. Rumah tingkat 2 dengan halaman luas yang ditumbuhi pohon mangga, rambutan, pepaya, dan tanaman bunga-bungaan. Di tingkat 2 rumahnya, ada 1 set drum yang selalu menarik perhatian adikku yang saat itu masih balita.

Aku bertemu dengannya hanya saat aku masih kecil. Jadi kalau sekarang diminta mendeskripsikan wajahnya, jelas akan sangat sulit melakukannya. Dengan anak-anaknyapun kami tidak akrab, karena jarang ketemu. Yang kutahu, semua anak-anaknya saat ini bekerja di luar kota. Aku juga tidak tahu apakah beliau hadir pada hari ayahku berpulang, karena saat itu banyak di antara pelayat yang wajahnya asing bagiku.

Di awal tahun 2005, beliau menemui kakekku untuk menyatakan keinginannya. Respon kakekku sih biasa aja karena kakek menganggap beliau tidak serius...bagarah kalo kata orang Padang. Sampai akhirnya kakekku berpulang pada September 2005, keinginan Mr. x tidak pernah sampai ke telinga kami.

Bulan Maret 2005, ibuku menghadiri pernikahan salah seorang kerabat kami di Masjid Sunda Kelapa. Karena bukan hari libur, ibuku hanya pergi berdua dengan adikku. Di sana, bertemulah ibuku dan Mr. x. Kemudian Mr. x menyatakan keinginannya langsung kepada ibuku. Respon ibuku sama seperti respon alm. kakekku saat pertama kali mendengarnya...bagarah...sambil menolak secara halus.

Ketika aku mendengar cerita ini dari ibuku, minggu lalu saat kami berempat on the way home dari Pasar Baru, respon pertamaku adalah, "Ga pa pa kalo ibu mau, iya kan," tambahku sambil melihat ke kakak dan adikku meminta persetujuan mereka atau "memaksa" mereka meng-iya-kan apa yang aku bilang. "Engga, dulu waktu bapak sakit...ibu sibuk ngurusin bapak, jadi anak-anak terlantar, makanya sekarang pingin ngurusin anak-anak aja," itu jawab ibuku yang membuat kami semua terdiam sampai kita sampai di rumah.

Sampai hari ini, topik itu tidak pernah lagi mampir di rumah kami. Itu memang kebiasaan kami di rumah. Tak pernah membicarakan lagi sesuatu yang sudah diputuskan. Padahal aku sama sekali tidak keberatan kalau ibu meng-iya-kan permintaan itu. Apapun untuk kebahagiaan ibuku selama tidak bertentangan dengan syariat Allah, akan aku support.

Ya, mungkin bagiku ini adalah saat yang tepat untuk ibu mulai memikirkan kepentingannya sendiri. Toh kami sudah besar. Terlebih, serepot apapun ibuku saat itu, beliau tidak pernah lalai mengurus kami. Tapi ternyata, ibu lebih memilih mengurus kami yang bandel-bandel ini, yang kadang masih suka menyakiti hatinya. Memang benar kata pepatah, "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah". Sampai kami sudah sebesar inipun, tak pernah kurang kasih sayang yang beliau berikan.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
(QS. Luqman: 14)

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang dari mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan hendaklah rendahkan dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (dahulu).
(QS. Al-Isra': 23-24)