Tuesday, May 30, 2006

Gempa 5,9 skala Richter

Negeri ini kembali dirundung duka. Belum tuntas penanganan korban tsunami di Aceh, kita kembali dihentakkan dengan musibah gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter. Gempa yang hanya berlangsung 59 detik itu mengakibatkan 5000 lebih korban jiwa (detik.com 29/05/06: 11.00 wib), ribuan korban luka, puluhan ribu korban kehilangan tempat bernaung, harta benda, dan sebagainya.

Bagi yang tidak berada di lokasi bencana, informasi atau gambaran mengenai apa yang terjadi di sana hanya terbatas yang diberitakan televisi, radio, media cetak, internet, dan media lainnya. Apa yang terjadi di lapangan sesungguhnya jauh lebih dahsyat dari apa yang sudah diberitakan. Dari apa yang kita dengar, baca, dan lihat pun sudah cukup membuat diri ini bergetar.

Tidak pernah terpikir bahwa jumlah korban jiwa akan sebanyak itu. Pada saat kejadian (Sabtu, 27 Mei 2006) sampai menjelang siang hari, jumlah korban jiwa “hanya” diberitakan sebanyak 70 orang. Tetapi angka itu terus merangkak naik, sampai akhirnya baru “ngeh” bahwa ini adalah bencana besar .

Korban yang luka-luka pun tak terhitung banyaknya. Rumah sakit yang ada tidak mampu menampung korban luka yang terus berdatangan. Korban-korban luka pun dirawat seadanya di lapangan parkir, di rumput, di jalan raya dengan beralaskan baju mereka sendiri. Sebagian besar sudah sepuh dengan luka yang terus mengeluarkan cairan merah. Korban yang tidak terluka pun memilih berada di luar rumah atau ruangan. Selain karena memang rumahnya sudah hancur, ada juga yang karena ketakutan adanya gempa-gempa susulan. Saat malam tiba, mereka tidur di tenda-tenda terbuka yang tak mampu melindungi dari hujan dan dinginnya malam.

Negeri kita memang rawan bencana karena berada di pertemuan lempeng. Tapi kita juga tidak diajarkan untuk pasrah. Pada hakekatnya Allah menciptakan alam semesta untuk kebaikan umat manusia. Manusia dituntut untuk mempelajari kejadian-kejadian di alam untuk kesejahteraan manusia. Kita tidak bisa lari dari bencana, tapi kita bisa mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan. Bisa dilakukan dengan mendesain rumah-rumah yang tahan gempa, menghindari bertempat tinggal di tempat-tempat yang rawan (longsor, banjir, dll).

Yang tak kalah pentingnya adalah kita bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Melakukan muhasabah (introspeksi), lebih mendekatkan diri kepada Allah. Karena kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja. Ajal adalah rahasia Allah, tidak ada satu manusia pun yang bisa mengetahui kapan waktunya. Sepatutnya setiap orang mempersiapkan diri dan berharap semoga dikaruniai husnul khotimah.

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfaal: 25)

Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali), kemudian berdo’a Alloohumma’jurnii fii mushiibatii wa akhlif lii khoiron minhaa’ (Ya Allah, berilah aku pahala karena musibah yang menimpaku ini dan berilah aku ganti dengan yang lebih baik daripadanya), melainkan Allah akan mengabulkan do’anya.”

Friday, May 26, 2006

Fine for me

Sebut saja namanya Mr. x. Dia masih terhitung saudara jauh. Dia seorang duda dengan tiga orang anak. Usia anaknya yang pertama hanya beda 3 tahun di atasku. Seingatku waktu aku kecil, kami sekeluarga pernah beberapa kali silaturahim ke rumahnya. Rumah tingkat 2 dengan halaman luas yang ditumbuhi pohon mangga, rambutan, pepaya, dan tanaman bunga-bungaan. Di tingkat 2 rumahnya, ada 1 set drum yang selalu menarik perhatian adikku yang saat itu masih balita.

Aku bertemu dengannya hanya saat aku masih kecil. Jadi kalau sekarang diminta mendeskripsikan wajahnya, jelas akan sangat sulit melakukannya. Dengan anak-anaknyapun kami tidak akrab, karena jarang ketemu. Yang kutahu, semua anak-anaknya saat ini bekerja di luar kota. Aku juga tidak tahu apakah beliau hadir pada hari ayahku berpulang, karena saat itu banyak di antara pelayat yang wajahnya asing bagiku.

Di awal tahun 2005, beliau menemui kakekku untuk menyatakan keinginannya. Respon kakekku sih biasa aja karena kakek menganggap beliau tidak serius...bagarah kalo kata orang Padang. Sampai akhirnya kakekku berpulang pada September 2005, keinginan Mr. x tidak pernah sampai ke telinga kami.

Bulan Maret 2005, ibuku menghadiri pernikahan salah seorang kerabat kami di Masjid Sunda Kelapa. Karena bukan hari libur, ibuku hanya pergi berdua dengan adikku. Di sana, bertemulah ibuku dan Mr. x. Kemudian Mr. x menyatakan keinginannya langsung kepada ibuku. Respon ibuku sama seperti respon alm. kakekku saat pertama kali mendengarnya...bagarah...sambil menolak secara halus.

Ketika aku mendengar cerita ini dari ibuku, minggu lalu saat kami berempat on the way home dari Pasar Baru, respon pertamaku adalah, "Ga pa pa kalo ibu mau, iya kan," tambahku sambil melihat ke kakak dan adikku meminta persetujuan mereka atau "memaksa" mereka meng-iya-kan apa yang aku bilang. "Engga, dulu waktu bapak sakit...ibu sibuk ngurusin bapak, jadi anak-anak terlantar, makanya sekarang pingin ngurusin anak-anak aja," itu jawab ibuku yang membuat kami semua terdiam sampai kita sampai di rumah.

Sampai hari ini, topik itu tidak pernah lagi mampir di rumah kami. Itu memang kebiasaan kami di rumah. Tak pernah membicarakan lagi sesuatu yang sudah diputuskan. Padahal aku sama sekali tidak keberatan kalau ibu meng-iya-kan permintaan itu. Apapun untuk kebahagiaan ibuku selama tidak bertentangan dengan syariat Allah, akan aku support.

Ya, mungkin bagiku ini adalah saat yang tepat untuk ibu mulai memikirkan kepentingannya sendiri. Toh kami sudah besar. Terlebih, serepot apapun ibuku saat itu, beliau tidak pernah lalai mengurus kami. Tapi ternyata, ibu lebih memilih mengurus kami yang bandel-bandel ini, yang kadang masih suka menyakiti hatinya. Memang benar kata pepatah, "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah". Sampai kami sudah sebesar inipun, tak pernah kurang kasih sayang yang beliau berikan.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
(QS. Luqman: 14)

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang dari mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan hendaklah rendahkan dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (dahulu).
(QS. Al-Isra': 23-24)




Saturday, May 20, 2006

Jangan Tanyaken? Kenapa?

Berawal dari keinginan untuk "berbicara" tentang peristiwa masa lalu. Bukan untuk mengungkit kembali ataupun berkeinginan memiliki masa-masa itu kembali...jelas tidak!...hanya ingin berbagi.

Saya bahagia pernah memiliki masa-masa itu dan tak pernah menyesalinya sampai saat ini. Masa-masa itu bagi saya adalah sebuah perjalanan kehidupan yang bisa saja dialami juga oleh orang lain. JANGAN TANYAKEN? KENAPA? Apa yang terlihat baik menurut mata manusia, belum tentu baik juga menurut Pemilik mata yang sejati...begitu juga sebaliknya. Dan tak ada sesuatu pun yang terjadi di dunia ini tanpa meninggalkan hikmah. Sayangnya tak banyak yang menggali hikmah tersebut, sebagian besar hanya sibuk meratapi (bila itu adalah sebuah kehilangan) dan lupa diri (bila itu adalah sebuah ujian kesenangan). Semoga saya tidak termasuk yang sebagian besar itu. Kadang keobjektifitas dalam memandang suatu persoalan tertutupi oleh yang namanya EMOSI. Saat emosi bermain, akal sehat seakan hilang entah kemana. Mungkin ini pula penyebab masa lalu seakan-akan dipenuhi oleh air mata dan kesedihan. Kunci dari bahagia adalah berhenti memikirkan hal-hal di luar kekuasaan kita.

Saya percaya "Jauh di mata dekat di hati"...dulu dan sampai saat ini (sekali lagi tak ada maksud untuk mengulang masa-masa itu lagi). Dulu, saya memang pernah mengingkari ini. Tapi percayalah, itu hanya karena emosi (biasa...usia muda). Pengalaman ternyata jauh lebih ampuh mengajarkan apa yang harus dirasakan dibandingkan doktrin apapun. Bisa jadi ini juga akan di-amin-i oleh seorang anak yang sudah kehilangan orang tua. Sejauh apapun rentang waktunya, almarhum atau almarhumah akan tetap ada di hati anaknya masing-masing.

Saya baik-baik saja. Saya yakin Allah takkan pernah memberikan kita suatu keadaan yang kita tidak sanggup untuk melewatinya. Layaknya ujian bagi anak sekolah. Soal-soal yang diujikan untuk tingkat SMA adalah yang sesuai bagi porsi tingkat SMA dan tidak akan mungkin melebihi tingkatan tersebut (kecuali peserta kelas akselerasi tentunya). Dan ujian itu untuk apa sih... ya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Begitu pula perumpamaan untuk ujian-ujian kehidupan. Memang ada air mata, tapi yakinlah bahwa saya baik-baik saja. Masih banyak orang diberi ujian yang jauh lebih berat dari yang saya alami dan mereka tidak terpuruk. Saya juga semoga tidak seperti itu.

Saya percaya...

Tuesday, May 16, 2006

"Dan katakanlah (Muhammad), Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran)-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan."
(QS. An-Naml: 93)

"Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk."
(QS. An-Nahl: 15)

"Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan."
(QS. An-Naml: 88)

"Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu tidak sulit bagi Allah."
(QS. Faatir: 16-17)

"Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu, kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri."
(QS. Al-Ankabut: 40)


Wednesday, May 10, 2006

Dialah malaikat itu

Saya memanggilnya mba Titi. Berbincang dengannya seperti sedang berbicara dengan sahabat lama.....menyenangkan....Tidak ada sedikitpun terlintas pikiran bahwa kita sedang berbicara dengan seseorang yang sedang diuji Allah dengan suatu penyakit yang membuatnya tidak berdaya tanpa bantuan orang lain. Mendengar celotehnya, tidak terbayang kehidupan seperti apa yang dijalaninya selama 18 tahun berbaring di tempat tidur. "Datang aja ke sini", itu jawabnya kepada orang-orang yang biasanya meragukan ceritanya.

Tidak ada sedikitpun kalimat gugatan (keluhan) yang terucap, seperti lazimnya orang-orang yang cenderung bercerita tentang kesedihan dan merasa menjadi orang paling malang sedunia. Yang terasa adalah rasa syukurnya kepada Allah yang semakin besar. "Saya tidak peduli dengan segala kehilangan yang saya alami, asal jangan kehilangan cinta-Nya Allah", begitu ucapnya ketika saya mempertanyakan caranya menjalani hidup. Banyak hal yang kita bicarakan, dan dia tak pernah keberatan menceritakan tentang penyakitnya. Ringan.....itu yang terasa ketika dia bercerita tentang segala beban hidupnya.

Mungkin mbak Titi termasuk yang mengimani bahwa: Orang mukmin menyatakan kegembiraannya dan menyembunyikan kesedihannya di dalam hati. Tidak banyak lagi kegiatan yang bisa dia lakukan, seperti dulu ketika masih sehat. Dengan segala keterbatasan yang dia miliki, saat ini dia sedang membuat buku tentang dirinya. Tidak banyak yang dia harapkan, bahkan sampai saat ini dia masih ragu untuk mempublikasikan ceritanya. Salah satu keinginannya dengan membuat buku tersebut adalah agar keluarga besarnya bisa mengetahui apa yang selama ini dia rasakan.

Ah mba Titi, mendengar suara dan cerita mba, saya jadi malu. Kadang, saya masih suka mempertanyakan kenapa begini...kenapa begitu.....ternyata rasa syukur saya masih sangat kurang.

Monday, May 8, 2006

Bagian dari memilih

Yang namanya hari minggu ataupun hari libur lainnya pasti selalu jadi hari yang ditunggu-tunggu. Sekadar untuk melepaskan kejenuhan setelah dari senin-sabtu menjalani aktivitas rutin sebagai pekerja. Mungkin cara orang menghabiskan hari minggu atau hari liburnya akan berbeda-beda. Ada yang menghabiskan hari liburnya dengan tidur seharian di rumah, jalan-jalan sama teman, have fun bareng keluarga, ataupun puas-puasin nonton TV seharian di rumah. Kadang, saat pekerjaan sedang overload dan dikejar-kejar dateline (ato deadline??), hak untuk libur pun diambil oleh kantor. Seringkali, rencana mengisi libur resmi hari minggu harus gagal karena lembur ataupun dinas luar kota. Harus gimana lagi? ini adalah risiko bekerja yang tidak bisa ditawar-tawar.

Entah dengan orang lain, tapi saya pribadi sering merasa bersalah kalo punya banyak aktivitas di luar. Karena berarti saya mengambil hak keluarga saya. Dari senin-sabtu, kita sibuk dengan urusan masing-masing. Saya pikir ga ada salahnya kalo hari minggu dan hari libur lainnya adalah untuk keluarga. Dulu, ketika bapak saya masih ada, setiap hari minggu adalah hari jalan-jalan bareng. Kadang, kita cuma putar2 keliling Jakarta, ngelewatin kantornya bapak dan tempat-tempat yang biasa beliau datangi, cuma untuk menyenangkan hati beliau....
Dan kegiatan-kegiatan itu selalu kita lakuin bareng2 (full team): bapak, ibu, kakak, adik, dan saya.

Sekarang saat kita cuma tinggal berempat, kebiasaan pergi bareng tetap ada. Rasanya jarang sekali kita pergi tidak berempat. Ke toko buku, ke pameran, silaturahim, bahkan ziarah pun selalu kita lakukan dengan jumlah personil yang sama. Seringkali, rencana untuk pergi bareng dibatalkan karena ada salah satu anggota keluarga yang tidak bisa pergi karena ada acara lain. Biasanya kita nunggu sampai semuanya bisa pergi, baru deh kita pergi. Makanya kalau ada acara dengan teman-teman, yang kebetulan pada hari minggu ataupun hari libur, saya memilih untuk tidak pergi kalau sudah ada rencana untuk pergi bareng dengan keluarga. Bukannya sibuk atau apa....tapi bagian dari "memilih".

Seperti kejadian hari minggu kemarin, tiga hari sebelumnya kami sudah berencana untuk datang ke pameran buku di Istora. Rencananya, pergi sepulangnya adik saya psikotest di Menteng. Ternyata pagi hari, nenek pingsan saat mandi. Beliau memang sudah lama sakit...stroke juga. Badannya dingin, pucat pula. Dipanggil-panggil, diam aja. Kami semua sibuk ngolesin obat gosok di kakinya, di kening, dekat hidung, mengurut tangan beliau yang gemetaran. Setelah hampir sepuluh menit pingsan, barulah nenek sadar. Kalo udah kaya gini, ga mungkin lah tetap pergi ke pameran buku....(padahal kemarin itu hari terakhir.....!)

Jadilah berhari minggu di rumah saja. Kebetulan juga, yang biasa masak dan bantu2 di rumah lagi pergi ke Bogor, nengok cucunya. Saya sih mikirnya praktis, kalo ga ada yang masak, ya beli aja. Tapi, berhubung ada ikan dan sayuran di kulkas, ya mau ga mau harus dimasak, daripada busuk. Akhirnya, setelah lamaaaa banget ga pernah "masuk dapur", terpaksa deh.....masak!!. Ga sendirian sih, tapi ditemenin sama my beautiful sister dan si Bob, lovely cat yang sudah hampir setahun jadi anggota keluarga baru. Ga rumit sih masakannya, cuma balado ikan sama tumis sayur. Tapi, ya gitu...berhubung ga pernah masak, grogi juga megang penggorengan (abis biasanya megang mouse sih). Ternyata menggoreng itu polusi suara ya....kencang banget suara ikan pas ketemu sama minyak panas (dah lama ga ketemu kalii, jadi heboh gitu...). Karena ga biasa menggoreng, saya jadi ga bisa memperkirakan tu ikan dah mateng atau belum. Kata ibu sih, kalo warnanya dah coklat berarti dah matang. Berhubung ga sabaran dan kurang pengalaman, tu ikan saya balik2 terus (tuk tau warnanya dah berubah belum), jadinya agak2 ga sempurna gitu deh hasilnya. Belum lagi sambalnya yang tiba2 aja jadi berwarna kehitaman dan pecah2. Kata ibu, itu gosong namanya. Yah, mana saya tau......Kayanya cuma sayurnya aja deh yang rada beneran dikit. Kata adik saya sih enak. Dia mah emang penikmat segala rupa dan dulu dia paling suka kalo saya bikinin dadar mie (makanan yang saya paling pede masaknya).

Ternyata masak itu not bad lah. Dan bisa dipelajari...semakin sering dipraktikkan, dijamin semakin jago dan enak masakannya. Tapi, saya belum niat tuh untuk belajar masak. Ntar-ntar aja....
Sekarang saya masih ingin dekat sama keluarga aja, secara "sang pangeran" juga belum datang. Dan siapa tahu nanti "pangerannya" adalah orang Ambon yang punya restoran Padang.....

Untuk jeng fe.....hidup itu pilihan dan ga ada satu masalahpun yang ga ada jalan keluarnya....pasti ada


Friday, May 5, 2006

Jawaban: InsyaAllah

"Trus kamu kapan?"
Pertanyaan standar kalo datang ke pernikahan teman, kalo ada kumpul-kumpul keluarga besar, kalo ada teman ngasi undangan, kalo datang ke akikah-an anaknya teman, kalo ketemu teman lama yang lagi gendong anak, kalo ketemu teman yang lagi jalan-jalan ma keluarganya di mall, kalo ada tetangga yang hajatan, kalo datang ke acara lamaran teman, pas nemenin teman beli hantaran buat lamaran, pas liat janur kuning melengkung di jalan, pas ngeliatin orang nge-desain undangan, pas ngeliat undangan yang udah jadi, pas.....ti nanya hal yang sama....

Yang jelas, ga bakal ditanyain kalo lagi takziah...........



Tuesday, May 2, 2006

May Day

Sementara lautan pekerja long march memperingati Hari Buruh Internasional dan penolakan terhadap revisi UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dan di tengah hujan deras mengguyur kota Jakarta, kami di kantor bete karena server mati...........

Betapa tidak berperasaannya......saya......

Wajah Yogya, Keturunan Afgan, Tampang Ambon

Sudah hampir sebulan ada anak-anak baru di kantor. Background mereka macam-macam, ada yang dari UI, UNS, UNY, dll. Di hari-hari pertama masuk, mereka harus ngafalin nama-nama kita yang sudah lebih dulu kerja di sini, adaptasi sama kerjaan yang harus mereka kerjakan, terheran-heran sama kebiasaan kita yang mungkin aneh atau asing bagi mereka, atau bahkan terpana dengan sikap kita yang tiba-tiba aja ketawa sendiri di depan komputer (mereka ga tau, kalo kita-kita kan pada rajin ber-say hi lewat Lantalk ataupun YM).

Biasanya tipikal anak baru itu antara lain pendiam, sopan, menampakkan wajah ramah bila diajak bicara, dll. Walaupun tidak semuanya bisa bersikap seperti ini. Mereka juga cenderung sungkan untuk bertanya karena takut mengganggu pekerjaan orang yang ditanya. Alhasil, selama jam kerja mereka akan duduk diam di tempat masing-masing, sampai akhirnya bel pulang berbunyi.

Seiring waktu, mereka mulai bisa berbaur, ikutan ngobrol, mulai tanya macam-macam, dan mulai berani “ngacak-ngacak” kantor. Seperti hari sabtu kemarin, kebetulan aku, Riza, m’Estu, Sandy (anak baru), dan Babe pergi ke Mentari, cari buku referensi. Trus ujug-ujug Sandy tanya gini ke aku, “Mba, orang Yogya ya?” Kujawablah bukan, karena aku kan memang bukan orang Yogya. “Abis mba tampangnya Yogya banget!” kata dia lagi. Emang orang Yogya kaya apa si, kataku dalam hati. Trus, nyampe kantor, ada anak baru lagi yang nanya. “Mba, ada keturunan luar ya?” “Luar gimana maksudnya?” tanyaku kaget. “Iya, mba mirip-mirip wajah perempuan Afganistan...Arab-arab gitu deh” kata dia. “Ada keturunan ya?” ALAMAK... pada hari yang sama, aku disangkakan berasal dari dua suku berbeda yang “jauh” banget. Yogya ama Afgan gitu lho!

Emang wajah atau tampangku seperti apa sih??...Dulu, jaman kuliah aku malah disangka berasal dari Ambon. Ceritanya ada kakak kelas yang berasal dari sana dan katanya aku mirip dengan dia.

Yang jelas bapakku orang Lamongan yang wajahnya Jawa banget (kata ibuku), sedangkan ibuku berasal dari Padang yang wajahnya juga Padang banget. Makanya kok bisa-bisanya aku dibilang wajah Yogya, keturunan Afgan, dan tampang Ambon. Tapi kalau mau disambung-sambungin sih bisa juga. Wajah Yogyaku itu diambil dari bapakku yang orang Jawa. Adapun keturunan Afgan, nah ada ceritanya nih. Ibuku bilang dulu neneknya kakekku pergi haji ke Mekkah, terus tinggallah beliau di sana selama beberapa tahun sampai lahir ayahnya kakekku. Mungkin wajah Arabku berasal dari sini (padahal kan kalo lahir di Arab belum tentu bertampang Arab ya??).

Nah, udah ketemu kan kenapa aku berwajah Yogya dan Afgan. Yang belum ketemu linknya itu adalah kenapa aku berwajah Ambon. Apa karena nanti aku akan berjodoh dengan orang Ambon ya? Who knows....sapa tau....Mungkin aja....Mungkin iya, Mungkin tidak.......